Program Keluarga Berencana : Pelaksanaan di Lapangan dengan Hukum Menurut Ulama dan Imam Madzhab Fiqh


Oleh : Ema Hartanti

Memiliki keluarga yang sejahtera/bahagia merupakan dambaan bagi setiap insan. Di era modern ini banyak, masyarakat yang menginginkan hal demikian dengan berbagai cara yang ditempuh, salah satunya yaitu dengan memperkecil jumlah anak, sehingga mereka merasa cukup dan sejahtera secara materil dengan keluarga kecil mereka. Adapun faktor ekonomi yang membuat mereka berpikiran bahwa jika banyak anak maka banyak kebutuhan ekonomi mereka yang meningkat sehingga mereka harus bekerja lebih keras. Hal tersebut muncul anggapan untuk melakukan program keluarga berencana yang memang menjadi program pemerintah.

Keluarga berencana merupakan suatu proses pengatur kehamilan untuk membatasi jumlah keluarga. Adapun menurut UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga dalam pasal 1 disebutkan bahwa Keluarga Berencana adalah upaya mengatur kehamilan anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan melalui promosi, perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga berkualitas.

Namun dalam Islam, keluarga berencana menjadi persoalan yang polemik karena adanya perbedaan pendapat dari kalangan ulama. Maka dari itu, penulis akan memaparkan persoalan tersebut di atas dan mengaitkan dengan praktik yang terjadi di lapangan.

Apa itu Keluarga Berencana (KB)?

Keluarga berencana berarti pasangan suami istri yang telah mempunyai perencanaan yang konkrit mengenai kapan anaknya diharapkan lahir agar setiap anaknya lahir disambut dengan rasa gembira, syukur dan merencanakan berapa anak yang dicita-citakan, yang disesuaikan dengan kemampuan, situasi dan kondisi masyarakat negaranya.

Keluarga Berencana

Keluarga Berencana

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera pasal 1 ayat 12 menyebutkan bahwa Keluarga berencana adalah upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil, bahagia, dan sejahtera.

Pandangan Islam tentang Keluarga Berencana (KB)

Ayat dalam al-Qur’an yang memberikan petunjuk berkaitan dengan KB, diantaranya ialah:

Surat An-Nisa’ ayat 9:

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا

“Dan hendaklah takut pada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah. Mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.

Selain ayat diatas masih banyak ayat yang berisi petunjuk tentang pelaksanaan KB diantaranya ialah surat al-Qashas: 77, al-Baqarah: 233, Lukman: 14, al-Ahkaf: 15, al-Anfal: 53, dan at-Thalaq: 7.

Dari ayat-ayat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa petunjuk yang perlu dilaksanakan dalam KB antara lain, menjaga kesehatan istri, mempertimbangkan kepentingan anak, memperhitungkan biaya hidup rumah tangga.

Sedangkan dari pandangan As-Sunnah disebutkan bahwa dalam Hadits Nabi diriwayatkan:

 إنك تدر ورثك أغنياء خير من أن تدرهم عالة لتكففون الناس (متفق عليه)

“sesungguhnya lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan dari pada meninggalkan mereka menjadi beban atau tanggungan orang banyak.(Muttafaq alaihi)

Dari hadits ini menjelaskan bahwa suami istri mempertimbangkan tentang biaya rumah tangga selagi keduanya masih hidup, jangan sampai anak-anak mereka menjadi beban bagi orang lain. Dengan demikian pengaturan kelahiran anak hendaknya dipikirkan bersama.

Bagaimana Hukum Islam Memandang Keluarga Berencana?

Sebenarnya dalam al-Qur’an dan Hadits tidak ada nas yang shoheh yang melarang atau memerintahkan KB secara eksplisit, karena hukum ber-KB harus dikembalikan kepada kaidah hukum Islam, yaitu:

الا صل فى الأشياء الاباحة حتى يدل على الدليل على تحريمها

Tetapi dalam al-Qur’an ada ayat-ayat yang berindikasi tentang diperbolehkannya mengikuti program KB, yakni karena hal-hal berikut:

  • Menghawatirkan keselamatan jiwa atau kesehatan ibu. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة (البقرة : 195)

“Janganlah kalian menjerumuskan diri dalam kerusakan”.

  • Menghawatirkan keselamatan agama, akibat kesempitan penghidupan hal ini sesuai dengan hadits Nabi:

كادا الفقر أن تكون كفرا

“Kefakiran atau kemiskinan itu mendekati kekufuran”.

  • Menghawatirkan kesehatan atau pendidikan anak-anak bila jarak kelahiran anak terlalu dekat, sebagai mana hadits Nabi:

ولا ضرر ولا ضرار

“Janganlah bahayakan diri dan jangan bahayakan orang lain.

Sedangkan menurut pandangan ulama, terdapat dua kelompok, yaitu sebagian memperbolehkan, sebagian lain melarang. Diantara ulama’ yang membolehkan adalah Imam al-Ghazali, Syaikh al-Hariri, Syaikh Syalthut. Ulama’ yang membolehkan ini berpendapat bahwa diperbolehkan mengikuti progaram KB dengan ketentuan antara lain, untuk menjaga kesehatan si ibu, menghindari kesulitan ibu, untuk menjarangkan anak. Mereka juga berpendapat bahwa perencanaan keluarga itu tidak sama dengan pembunuhan karena pembunuhan itu berlaku ketika janin mencapai tahap ketujuh dari penciptaan. Mereka mendasarkan pendapatnya pada surat al-Mu’minun ayat: 12, 13, 14.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ طِينٍ. ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ. ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ.

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”

Lalu sebagian ulama yang melarang program tersebut diantaranya ialah Prof. Dr. Madkour dan Abu A’la al-Maududi. Mereka melarang mengikuti KB karena perbuatan itu termasuk membunuh keturunan seperti firman Allah:

ولا تقتلوا أولادكم من إملق نحن نرزقكم وإياهم

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut (kemiskinan) kami akan memberi rizkqi kepadamu dan kepada mereka”

Bagaimana Para Imam Madzab Berpandangan?

Pertama, Abu Hanifah. Sikap mayoritas madzhab ini ialah mengizinkan al-‘azl sebagai tindakan kontrasepsi, dengan perbedaan mengenai persetujuan istri. Tetapi para juris yang kemudian mengabaikan persetujuan istri (atau suami) pada masa kemunduran religious, “zaman buruk” (fasad az-zaman) dan bila terdapat kekhawatiran akan melahirkan anak-anak nakal (al-walad as-su’). Syekh Abdul Majid Salim, mufti besar mesir, mengeluarkan suatu fatwa di tahun 1937 dengan meringkaskan hukum madzhab Hanafi. Ia mengukuhkan bahwa penggunaan al-‘azl atau tindakan lain untuk mencegah kehamilan diizinkan dengan persetujuan istri. Persetujuan itu dapat diabaikan pada saat kerusakan agama, untuk mengelakkan lahirnya anak nakal.

            Kedua, Imam Malik. Mayoritas juris Maliki menegaskan halalnya al-‘azl untuk mencegah kahamilan dengan syarat ada persetujuan istri. Sebagian juris memperkenalkan konsep memberi imbalan pada si wanita atas persetujuannya apabila dia menghendaki.

            Ketiga, Imam Syafi’i. Sikap khas madzhab Syafi’i ialah bahwa al-‘azl diizinkan dengan bebas tanpa perlu izin istri. Paling-paling ada suatu ketidaksukaan ringan atau karahah tanzihiyyah. Jadi, bila penganut madzhab syafi’i mengatakan yukrah (tidak disukai), yang mereka maksudkan adalah kurang dari “tanpa cela”. Mereka berargumen bahwa si wanita mempunyai hak akan hubungan kelamin, tetapi tidak (berhak akan) ejakulasi. Beberapa juris menyeberang dan mengambil sikap jumhur yang menetapkan perlunya persetujuan istri. Beberapa diantaranya sama sekali tidak mengizinkan al-‘azl.

            Keempat, Imam Hambali. Mayoritas madzhab Hambali sependapat dengan sikap umum bahwa al-‘azl adalah halal dengan persetujuan istri. Persetujuan itu dapat diabaikan dalam situasi-situasi tertentu.

Implementasi di Lapangan

Dalam pelaksanaan KB harus menggunakan alat kontrsepsi yang sudah dikenal diantaranya ialah:

  1. Pil, berupa tablet yang berisi progrestin yang bekerja dalam tubuh wanita untuk mencegah terjadinya ovulasi dan melakukan perubahan pada endometrium.
  2. Suntikan, yaitu menginjeksikan cairan ke dalam tubuh. Cara kerjanya yaitu menghalangi ovulasi, menipiskan endometrin sehingga nidasi tidak mungkin terjadi dan memekatkan lendir serlak sehingga memperlambat perjalanan sperma melalui canalis servikalis.
  3. Susuk KB, levermergostrel. Terdiri dari enam kapsul yang diinsersikan dibawah kulit lengan bagian dalam kira-kira sampai 10 cm dari lipatan siku. Cara kerjanya sama dengan suntik.
  4. AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) terdiri atas lippiss loop (spiral) multi load terbuat dari plastik harus dililit dengan tembaga tipis cara kerjanya ialah membuat lemahnya daya sperma untuk membuahi sel telur wanita.
  5. Sterelisasi (Vasektomi/tubektomi) yaitu operasi pemutusan atau pengikatan saluran pembuluh yang menghubungkan testis (pabrik sperma) dengan kelenjar prostat (gudang sperma menjelang diejakulasi) bagi laki-laki. Atau tubektomi dengan operasi yang sama pada wanita sehingga ovarium tidak dapat masuk kedalam rongga rahim. Akibat dari sterilisasi ini akan menjadi mandul selamanya.
  6. Alat-alat kontrasepsi lainnya adalah kondom, diafragma, tablet vagmat, dan tiisu yang dimasukkan kedalam vagina. Disamping itu ada cara kontrasepsi yang bersifat tradisional seperti jamuan, urut

Mana yang diperbolehkan dalam Islam?

Ada beberapa macam cara pencegahan kehamilan yang diperbolehkan oleh syara’ antara lain, menggunakan pil, suntikan, spiral, kondom, diafragma, tablet vaginal , tisue. Cara ini diperbolehkan asal tidak membahayakan nyawa sang ibu. Cara ini dapat dikategorikan kepada al-‘azl yang tidak dipermasalahkan hukumnya. Sebagaimana hadits Nabi:

كنا نعزل على عهد وسول الله ص. م. فلم ينهها (رواه مسلم )

“kami dahulu di zaman Nabi SAW melakukan al-‘azl, tetapi tidak melarangnya”

Begitu juga cara pencegahan kehamilan yang dilarang oleh syara’, yaitu dengan cara merubah atau merusak organ tubuh yang bersangkutan. Cara-cara yang termasuk kategori ini antara lain, vasektomi, tubektomi, aborsi. Hal ini tidak diperbolehkan karena menentang tujuan pernikahan untuk menghasilakn keturunan.

Ulasan dengan Program yang Telah Dilaksanakan

Keluarga Berencana atau sering disebut KB secara prinsipil dapat diterima oleh islam, bahkan KB dengan maksud menciptakan keluarga sejahtera yang berkualitas dan melahirkan keturunan yang tangguh sangat sejalan dengan tujuan syariat islam, yaitu mewujudkan kemaslahatan bagi umat. Selain itu, KB juga memiliki sejumlah manfaat yang dapat mencegah timbulnya kemudlaratan. Apabila dilihat dari fungsi dan manfaat KB yang dapat melahirkan kemaslahatan dan mencegah kemudlaratan maka tidak diragukan lagi kebolehan KB dalam Islam.

BKKBN

BKKBN

Para ulama yang membolehkan KB sepakat bahwa Keluarga Berencan (KB) yang dibolehkan syariat adalah suatu usaha pengaturan atau penjarangan kelahiran atau usaha pencegahan kehamilan sementara atas kesepakatan suami-isteri karena situasi dan kondisi tertentu untuk kepentingan kemaslahatan keluarga. Dengan demikian, KB disini mempunyai arti sama dengan tanzim al nasl (pengaturan keturunan). Sejauh pengertiannya adalah tanzim al nasl (pengaturan keturunan), bukan tahdid al nasl (pembatasan keturunan) dalam arti pemandulan (taqim) dan aborsi (isqot al-haml), maka KB tidak dilarang. Begitu pula dengan pemandulan, jika dilakukan dalam keadaan darurat karena alasan medis, seperti pemandulan pada wanita yang terancam jiwanya jika ia hamil atau melahirkan maka hukumnya mubah. Kebolehan KB dalam batas pengertian diatas sudah banyak difatwakan, baik oleh individu ulama maupun lembaga-lembaga keislaman tingkat nasional dan internasional, sehingga dapat disimpulkan bahwa kebolehan KB dengan pengertian batasan ini sudah hampir menjadi Ijma’ Ulama. MUI (Majelis Ulama Indonesia) juga telah mengeluarkan fatwa serupa dalam Musyawarah Nasional Ulama tentang Kependudukan, Kesehatan dan Pembangunan tahun 1983. Sedangkan menurut Imam Madzhab, dibolehkannya untuk pengaturan keturunan dengan cara al-azl namun disertai dengan izin atau kesepakatan istri. Betapapun secara teoretis sudah banyak fatwa ulama yang membolehkan KB dalam arti tanzim al-nasl, tetapi kita harus tetap memperhatikan jenis dan cara kerja alat atau metode kontrasepsi yang akan digunakan untuk ber-KB.

Referensi

‘Umrah, Abd ar-Rahim. 1997. Islam dan KB. Jakarta. Lentera.

As-syaukani, Luthfi. 1998. Politik, Ham dan Isu-isu Fiqih Kontemporer, Bandung. Pustaka Hidayah.

Chuzamah, T. Yangro dkk. 2002. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta. Pustaka Firdaus.

Ebrahim, Abul Fadl Mohsin. 1997. Aborsi, Kontrasepsi dan Mengatasi Kemandulan. Bandung. Mizan.

Hasan, Muhammad Ali. 1997. Masail Fiqhiyah. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Kamal, Musthafa. 2002. Fiqih Islam. Yogyakarta. Citra Karsa Mandiri.

Umran, Abdurrahman. 1997. Islam dan KB. Jakarta. PT Lentera Basritama.

Zuhdi, Masjfuk. 1997. Masail Fiqhiyah. Jakarta. PT Toko Gunung Agung.

 http://www.Program.Keluarga.Berencana.Menurut.Hukum.Islam.htm

Tinggalkan komentar

Tinggalkan komentar